EARTH TO ECHO (2014) REVIEW

Earth to Echo (2014)

Sekelompok bocah ingusan di pinggiran kota meyelamatkan Alien lucu, dengan premis seperti itu tentu saja kamu dengan mudah akan menyamakan Earth to Echo dengan karya legendaris Spieliberg E.T yang lahir lebih dari dua dekade silam atau mungkin yang lebih baru, Super 8-nya J.J Abrams minus aien imut. Dengan tema persahabatan kental berpetualang mencari sesuatu jauh dari halaman belakang rumah mereka, Earth to Echo juga mengingatkan kita dengan The Goonies
atau adaptasi novel Stephen King, Stand By Me,  hanya yang mungkin membedakannya dengan film-film yang saya sebutkan tadi adalah bagaimana sutradara Dave Green memperesentasikannya.
DIhadirkan dengan semangat mockumentari yang biasa pengunaanya sering disematkan pada genre-genre horor, Earth to Echo mencoba tampil beda guna menyiasati premisnya yang teralu familiari. Ada trio perumahaan Clark County; Tuck (Brian Bradley), Munch (Reese Hartwig) dan Alex (Theo Halm), tiga sahabat dari sub-urban di pinggiran Nevada yang tidak terpisahkan sejak kecil. Seminggu sebelum ketiganya harus pindah karena tergusur proyek jalan tol, mereka medapati fenomena ganjil ketika smart phone mereka mengalami gangguan yang belakangan mereka ketahui bahwa penampakan daam layar gadget mereka itu sebenarnya adalah sebuah peta yang lalu menuntun mereka ke sebuah tempat. Perjalanan mereka kemudian mempertemukan ketiganya dengan sosok robot alien kecil mirip burung hantu besi bermata biru yang kemudian mereka namakan Echo karena kemampuan komunikasinya yang mirip gema.Misi trio Clark County yang dalam perjalanya mereka dibantu oleh teman cantik dari sekoah mereka, Emma adalah melarikan diri dari kejaran pemerintah dan mengantar Echo pulang ke rumahnya dengan selamat.
Ketika harus menyamakan Earth to Echo dengan sci-fi besar macam E.T tentu saja ada kuaitas yang harus dibandingkan, sayang Earth to Echo harus diakui masih jauh di bawah sci-fi klasik milik Spileberg itu. Ya, ada format mocku dokumenter yang menjadi satu-satunya hal berbeda di sini menutupi jalan cerita yang terkesan copy-paste sana sini. Di syut dengan banyak kamera, mulai dari kamera smart phone, handy cam sampai kacamata berkamera, Dave Green menyajikan semua keasikan fiksi ilmiah keluarga dari sudut para bocah Clark County dalam misi mereka menyelamatkan Echo. Ada petualangan seru yang semuanya terekam langsung melalui sudut pandang orang pertama, melibatkan pencarian suku cadang milik Echo yang tersebar di seantero kota kecil dengan tampilan modern yang melibatkan banyak elemen di era digital mulai dari pengunaan google maps sampai youtube dan tentu saja beberapa spesial efek yang sama sekali tidak buruk untuk ukuran sci-fi low budget macam ini.
Sayang tidak seperti E.T, korelasi antara para tokoh ciliknya dengan si alien lucu tidak dimaksikmalkan dengan bail. Karkater alien burung hantu Echo memang menggemaskan dengan mata biru besar dan suara “beep” nya yang berulang-ulang, bahkan terkadang kita melihat beberapa adegan melalui sudut pandangnya, yang menjadi masalah adalah kurangnya interaksi, bahkan kalau mau jujur si Echo jarang digunakan Green dalam penceritaannya, sebaliknya ia lebih memofukskan segalanya kepada kuartet anak-anak Clark Country yang jujur saja buat saya terbilang gagal menghadirkan chemsitry yang kuat, Dan minimanya jalinan emosional antar karakter manusia dan alien membuat Echo to Earth terkesan datar-datar saja dari awal hingga akhir dalam balutan narasi garapanHenry Gayden yang terlalu mulus dan menggampangkan segalanya,

EARTH TO ECHO Trailer 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

notifikasi
close