Indonesia memang dikenal sebagai
‘mbah-nya’ Pecak Silat, tetapi film produksi lokal tentang salah satu
cabang bela diri paling tua satu ini nyaris tidak pernah disentuh para
sineasnya, dan ketika ada ironisnya ia menjadi ngetop karena campur
tangan sutradara asing, Gareth Evans ketika ia membuat Merantau dan tentu saja dwilogi The Raid
yang fenomenal itu, Sementara dari negeri seberang ada Origins Film
yang mencoba membangkitkan kembali perfilman Brunei Darussalam setelah
kurang lebih setengah abat tertidur dengan mengangkat Silat dalam sebuah
drama coming of age modern berhati besar yang digarap serius oleh dua bersaudara Kamaluddin.
Ya, Yasmine yang judulnya
diambil dari sebuah puisi memang produksi Brunei yang produksinya dibuat
selama empat tahun, tetapi ketika ia melibatkan silat, bahasa melayu,
banyak aktor besar Indonesia dan Nidji, aroma yang dihebuskan Yasmine
lebih terasa seperti produk lokal, memancarkan sebuah keakraban dan
keintiman, terlebih ketika sang sutradara, Siti Kamaluddin memfokuskan
semuanya pada cerita tentang keluarga, persahabatan dan pencairan jati
diri dan kedewasaan dengan gadis remaja baru gede sebagai sentral bernarasinya melalui Silat dan benturan budaya yang tidak berbeda jauh dari negara kita.
Kalau mau jujur plot yang diusung penulis naskah asal Indonesia, Salman Arsito (Laskar Pelangi) terbilang usang. Yasmine mungkin terasa seperti “Karakter Kid” ala Brunei yang melibatkan kompetisi bela diri dan perjuangan from zero to hero
dari karakter utamanya yang belajar menjadi dewasa. Dalam kasus ini ada
Yasmine (Liyana Yus), pelajar SMU yang bergabung dengan klub silat di
sekolah barunya guna mengikuti kompetisi agar bisa menarik perhatian
cowok pujaannya, tentu saja apa yang dilakukan Yasmine tanpa
sepengetahuan sang ayah, Fahri (Reza Rahardian) yang sepertinya tidak
pernah menyukai Silat tanpa alasan yang jelas. Dalam prosesnya, Yasmine
menjalin bersahabat baik dengan dua teman barunya, Ali (Roy Sungkono)
dan Nadia yang turut diboyongnya dalam kejuaran tahunan Silat antar
sekolah itu.
Konsepnya memang ‘basi’, dan beberapa
elemennya yang melibatkan budaya, agama dan sosial terasa kurang digali
lebih dalam, tetapi bagaimanapun proses secara keseluruhan yang
melibatkan banyak elemen teknis dan akting adalah hal-hal terpenting
dalam terbentuknya sebuah drama yang bagus dan Yasmine punya
semua segala kebaikan untuk membentuk dirinya sebagai sebuah drama
pendewasaan berlatar bela diri yang solid. Untuk sebuah film dari
sutradara debutan dari negara yang nyaris tidak pernah memproduksi
film-film besar.
Yasmine adalah pencapaian luar
biasa. Kombinasi apik antara cerita keluarga sederhana yang bersisi
persahabatan, relasi ayah-anak, pencarian jati diri, olah raga,
rivalitas dan sedikit romansa serta komedi ringan bersama dukungan
akting kuat dari pendatang baru Liyana Yus yang enerjik dan loveable, aktor-aktor
pendukung asal Indonesia mulai dari Reza Rahardian (yang meskipun
bermain gemilang dengan dialek melayunya tetapi seperti terlalu muda
menjadi karakter ayah), Agus Kuncoro sampai Dwi Sasono yang juga tampil
bagus serta tentu saja peyutradaraan gemilang Siti Kamaluddin
yang meski berstatus ‘anak kemarin sore’ tetapi seperti tahu benar
bagaimana membawa alurnya begitu enak untuk dinikmati di setiap
menitnya. Tentu saja Siti harus banyak berterima kasih kepada krunya
pendukungnya, kebanyakan dari mereka sudah jauh lebih berpengalaman
ketimbang dirinya misalnya macam penulis naskah dari film Indonesia
favoritnya, Laskar Pelangi; Salman Arsito yang berhasil menata
naskahnya sedemikian rupa. Di visualnya ada gambar-gambar cantik nan
hangat dari bumi Brunei yang ditangkap kamera James Teh termasuk adegan
pertarungan seru garapan koreografer bela diri veteran asal Hong Kong,
Man Ching yang bolak balik bekerja sama dengan Jackie Chan. Di bagian
musik, Siti juga mempercayakan kepada grup band Nidji dengan ‘Menang
Demi Jiwa”, sebuah soundtrack apik yang mampu memperkuat emosinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar