Selamat datang di “The Grand Budapest Hotel“,
sebuah pemilihan judul yang enak didengar, seperti melambangkan sebuah
kebesaran dan kemegahan, tetapi tentu saja yang lebih penting adalah
melihat siapa tuan ruamahnya. Ya, ia adalah sutradara Wes Anderson yang
terakhir mempersembahkan kita romansa monyet dalam kamp Moonrise Kingdom
yang mendapatkan puja-puji dari para penontonnya. Karya-karya Anderson
memang unik dan tidak ada duanya, bahkan jika kamu harus menontonnya
‘telanjang bulat” tanpa tahu judul dan nama sutradaranya bisa dipastikan
kamu akan langsung mengenal setiap trademark yang ditinggalkan Anderson
di setiap film-filmnnya.
Anderson memang terkenal dengan caranya
yang nyentrik dan menyenangkan dalam membuat setiap film. Pengunaan
teknik-teknik hebat macam lensa wide-angle anamorphic, zoom out-zoom dengan
presisi yang sempurna, pergerakan kamera antar satu karakter ke
karakter lainnya dan kembali lagi ke karakter pertama yang semuanya
dikombinaskan dengan color palet cerah, karakter-karkter unik, komedi
aneh dan musik-musik asik. Ya, semua kesenangan ala Anderson masih akan
kamu temukan di The Grand Budapest Hotel. Lalu jika
kamu bertanya apa lagi yang masih bisa dibuat seorang Wes Anderson
setelah sebelumnya ia sudah pernah mempersembahkan cerita keluarga
disfungsional (The Royal Tenenbaums), petualangan bawah laut (The Life Aquatic with Steve Zissou), road movie (The Dejarling Limited) sampai cerita tentang keluarga rubah clay-motion (Fantastic Mr.Fox) ?
Selalu ada hal yang baru di setiap film
Anderson, tidak peduli seberapa seringnya ia menggunakan teknik yang
sama. Kali ini ada cerita petulangan seru dengan latar belakang Hotel
besar berwana pink, The Grand Budapest Hotel yang
berada di negara imajiner Zubrowka di dinginnya penggunan Alpen. Sang
pemilik adalah Monsieur Gustave H (Ralph Fiennes), pria flamboyan yang
baik hati dan pencinta wanita-wanita tua yang suatu hari bersama lobby boy
baru yang langsung menjadi anak kesayangannya, Zero (Tony Revolori)
terjebak dalam konspirasi kematian pelanggan hotel yang dicintainya,
Madam D (Tilda Swinton yang nyaris tidak bisa dikenali).
Bagian terbaik dari The Grand Budapest Hotel adalah…….segalanya. Ya, segalanya. Jika kamu menganggap apa yang dilakukan Anderson kemarin dalam Moonrise Kingdom sudah kamu anggap luar biasa, maka bersiaplah, karena The Grand Budapest Hotel punya kadar jauh lebih dahsyat, meskipun harus diakui masih belum mampu menyaingi The Royal Tenenbaums. Namun satu hal bisa dipastikan The Grand Budapest Hotel itu
seru. Seru ketika naskah garapan Anderson yang terinspirasi dari
tulisan Stefan Zweig bisa menyatu sempurna dengan presentasi quirky-nya yang dipenuhi dengan miniatur, desain produksi spektakuler dan animasi yang diwakili oleh shot-shot hebat,
termasuk adegan-adegan aksi melibatkan kejar-kejaran ski, kabur dari
penjara, kue-kue lezat, pencurian lukisan sampai tembak-tembakan di
hotel dengan penceritaan berlapis yang dimulai secara periodik dari Tom
Wilkinson, Jude Law sampai F. Murray Abraham. Seru ketika Anderson
kembali berhasil memaksikmalkan plot lintas benuanya bersama sentuhan Hitchockian yang melibatkan pembunuhan, pencurian, humor, romance, suspense dan buddy movie dalam bungkusan musik enerjik garapan Alexander Desplat.
Seru ketika muka-muka “baru” macam Ralph Fienees, Tony Revolori Saoirse Ronan tampil solid memeriahkan salah satu parade enesemble cast paling heboh tahun ini yang juga turut diisi oleh nama-nama beken macam Edward Norton, Harvey Keitel,
Adrien Brody, Jeff Goldblum, Willem Dafoe sampai duo Perancis, Mathieu
Amalric dan si cantik Léa Seydoux, jika masih belum cukup, Anderson juga
turut membawa serta karakter-karkter langganannya untuk muncul sebagai cameo penuh nostalgia (dari Bill Muray, Jason Schawartzman sampai Owen Wilson).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar