THE GIVER (2014) REVIEW

The Giver (2014)

Adaptasi sci-fi young adult populer modern sepertinya masih tidak pernah jauh-jauh dari masa depan di dunia pasca kiamat bersama rezim totaliternya. Dari Hunger Games, The Host sampai Divergent punya konsep 11-12 dengan fokus utama ada pada karakter the chosen one-nya yang menyelamatkan dunia. The Giver pun juga punya premis mirip meskipun susah untuk dibilang ikut-ikutan karena sumber aslinya sendiri adalah novel YA populer milik Lois Lowry yang dirilis dua dekade lalu, novel yang sudah lama diidam-idamkan produser sekaligus pemainnya, Jeff Bridges untuk dibuatkan filmnya.


Tahun 2048, setelah perang besar meletus dan menghancurkan segalanya, para pemimpin memutuskan untuk menciptakan dunia baru mereka sendiri, menghadirkan sebuah sistem totaliter ‘halus’ yang mengantur setiap kehidupan warganya yang tersisa dari hal-hal kecil mulai kelahiran, sekolah, pekerjaan sampai kapan mereka harus mati, menghapus setiap konflik dan perbedaan dari ras, jenis kelamin bahkan sampai warna. Semua kenangan akan masa lalu dihapus dari masyarakat yang baru ini melalui tipuan berdalih suntikan pengobatan yang diberikan setiap hari. Masalahnya, tidak hanya segala kenangan buruk akan kehancuran, kemiskinan dan rasa sakit yang hilang namun juga setiap emosi terdalam dari diri manusia termasuk cinta, membuat manusia-manusia di dunia baru ini hidup dalam dunia utopia bersama kebahagiaan artifsial sampai pada akhirnya Jonas (Brenton Thwaites), seorang remaja yang didaulat oleh para tetua pimpinan Chief Elder (Meryl Streep) sebagai The Receiver of Memory, satu-satunya individu yang bisa mewarisi kenangan akan dunia sebelumnya dari The Giver (Jeff Bridges) mengetahui semua apa yang terjadi dan berusaha mengembalikan masyakarat ke dunia yang sebenarnya.
Keberhasilan novel Lois Lowry menjadi best seller pada jamannya tentu saja bukan karen ia menjual pesona remaja ganteng sebagai saran berceritanya (meskipun di novelnya, karakter utamanya masih berusia 11 tahun), namun lebih ke kandungan narasinya yang memang harus diakui sangat menarik, kompleks, penuh filosofi, metafora dan juga provokatif. Kini di bawah tangan dua penulis naskah Michael Mitnick dan Robert B. Weide, sutradara The Bone Collector, Phillip Noyce mencoba memindahkannya ke media film yang tentu saja bukan pekerjaan mudah mengingat begitu banyak detil penting yang pastinya tidak bisa dibawa ke dalam durasi terbatas.
Dibuka dengan tone monokrom, Noyce seperti ingin menegaskan dunia The Community adalah dunia tanpa warna, dan meskipun setiap penduduknya tampak bahagia tetapi sebenarnya tidak ada jiwa di sana, seperti versi YA dari The Stepford Wives yang datang dari masa depan di mana setiap wajah dari warganya dihiasi senyum dan rutinitas palsu. Konfliknya muncul ketika karakter utamanya, Jonas yang terpilih menjadi satu-satunya penerus The Receiver of Memory memulai proses transfer kenangan dari seniornya yang diberi julukan The Giver. Dari sini sebenarnya narasinya bisa menjadi semakin menarik ketika Jonas belajar menjadi manusia kembali melalui rekaman-rekaman ingatan yang diambil dari kepala The Giver. Noyce memberi kita banyak gambar-gambar menarik yang disatukan dalam sebuah montage manis, dari proses kelahiran manusia yang menakjubkan sampai terbentuknya sebuah keluarga. Jonas tentu saja menikmati prosesnya ketika ia mendapati sebuah pengalaman baru melalui setiap kenangan indah dari dunia lama tetapi tidak setiap memori itu manis dan indah, puncaknya adalah ia harus mendapati bahwa ada keburukan dari dalam diri manusia yang ujung-ujungnya menjadi penyebab sebuah kehancuran besar.
Ya, The Giver jelas punya modal kuat dari novelnya tetapi Michael Mitnick dan Robert B. Weide rupanya memilih untuk bermain aman dengan banyak memangkas segalanya, menyederhanakan narasi kompleksnya, membuang bagian-bagian penting untuk dijadikan tontonan yang benar-benar terasa seperti sebuah sajian young adult klise nan cheesy ala Hollywood ketimbang fiksi ilmiah pintar yang dipenuhi dengan kedalaman metafora, filosofi dan sindiran sosial. Ya, sayang memang setelah seperempat durasi awal yang cukup menyakinkan lengkap dengan sebuah proses perubahan warna ala Pleasentville, The Giver jatuh menjadi tontonan sci-fi remaja tumpul yang terlalu panjang dan membosankan oleh beberapa momen tak perlu yang seperti diulang-ulang. Lalu ada banyak casting bagus yang terasa mubazir karena minimnya porsi yang diberikan, lihat saja nama-nama beken dari Katie Holmes dan Alexander Skarsgård yang didapuk sebagai orangtua Jonas, dua pentolan Hollywood, Jeff Bridges dan Meryl Streep dengan wig mengerikannya yang performanya tidak terlalu mengesankan untuk ukuran pemenang Oscar. Belum lagi penampakan sebentar dari biduan pop star Taylor Swift sebagai The Receiver of Memor sebelumnya. Beruntung sang karakter sentral yang dimainkan Brenton Thwaites hampir di seluruh durasinya tidak sampai terlalu buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

notifikasi
close