Sesosok manusia terbangun di
tengah bangunan misterius yang begerak sendiri tanpa pernah tahu mengapa
ia bisa sampai di sana. Apa yang ditawarkan adaptasi novel young adult
laris berjudul sama ini tentu saja menarik meskipun tidak lagi
menawarkan sesuat yang benar-benar baru. Sekilas, premisnya mengingatkan
fans fiksi ilmiah kepada salah satu cult Indie, The Cube. Tetapi bukan hanya The Cube, The Maze Runner seperti juga banyak terinspirasi oleh sesama koleganya, sesama sci-fi YA dari yang paling klasik macam Lord of Flies di mana sekelompok remaja terjebak di sebuah pulau tak berpenghuni sampai yang paling modern macam The Hunger Games
dengan permainan maut yang dilakukan para remaja terpilih untuk
bertahan hidup. Tetapi apapun itu yang mungkin mempengaruhi penulis
novelnya, James Dashner, The Maze Runner tetap punya pesonanya sendiri yang mampu menjadi bacaan hit ketika dirilis 2007 lalu. Jadi adaptasi live-action-nya
jelas tinggal menunggu waktu saja, apalagi momentum adaptasi novel
sci-fi YA saat ini membooming, genre hanya bisa ditandingi oleh
film-film superhero.
Masih bersetting di dunia distopia masa
depan, masih menghadirkan para remaja yang bertahan hidup dari sebuah
rencana jahat besar dan masih memunculkan satu karakter terpilih untuk
menyelamatkan semuanya. The Maze Runner sebenarnya tidak pernah jauh-jauh dari pakem sci-fi young adult populer modern. Yang membedakannya adalah sebuah maze atau labirin besar yang dibangun dari tembok-tembok beton raksasa sementara di tengah-tengahnya ada Glade
yang terdiri sekelompok remaja terbuang yang tidak pernah tahu kenapa
mereka harus berada di sana. Satu-satunya yang mereka tahu adalah tidak
pernah mencoba masuk ke dalam labirin misterius itu. Jadi selama
bertahun-tahun mereka hidup dalam ketakutan akan bayang-bayang tembok
rakasasa yang konon berubah setiap malam dan di dalamnya dihuni
oleh mahluk-mahluk mengerikan seperti laba-laba besar yang mereka sebut Grevier sampai
kemudian seorang remaja bernama Thomas (Dylan O’Brien) datang, mencoba
memecahkan misteri labirin misterius itu sekaligus mengajak teman-teman
barunya untuk keluar dari sana.
Penyakit kebanyakan sub-genre ini
sebenarnya masih sama saja, adaptasi novel tidak pernah bisa benar-benar
memuaskan, khususnya buat para purist karena alasan keterbatasan durasi
yang tidak mampu memboyong semua detil pentingnya. Bahkan franchise
besar macam The Hunger Games yang tahun ini memasuki salah satu
seri terakhirnya pun tidak lepas dari kelemahan ini, beruntung ia masih
diselamatkan oleh performa Jennifer Lawrence yang luar biasa. Sementara
The Maze Runner tidak punya nama-nama besar yang bisa menjual, ya, memang ada Will Poulter yang sebelumnya pernah kita lihat di sekuel ke-2 Narnia dan komedi gila We Are The Millers, tetapi meskipun Poulter masih bermain bagus ia bukan karakter sentralnya. Ada bintang Teen Wolf, Dylan O’Brien yang didapuk sebagai Thomas, the chosen one
yang menjadi pusat narasi selain labirin besar, ia memimpin banyak
bintang-bintang muda seperti salah satunya Thomas Brodie-Sangster dari
serial televisi Game of Thrones dan Kaya Scodelario dari serial Skins.
Tentu saja tidak adil membandingkan
pesona Dylan O’Brien dan Jennifer Lawrence yang lebih banyak makan asam
garam. Jadi untuk menutupi kekurangan di karakternya yang tidak mampu
dihadirkan dengan maksimal sutradara Wes Ball mencoba memaksimalkan daya
tarik premisnya melalui kandungan misteri dari labirin tua raksasa yang
menjadi momok buat setiap warga Glade. Bagi penonton yang tidak membaca
novelnya tentu saja konsep yang ditawarkan The Maze Runner bisa
dibilang menantang. Diposisikan sama tidak tahunya dengan karakter
Thomas, penontonnya diajak untuk menelusuri apa yang sebenarnya terjadi,
kenapa remaja-remaja tanggung itu harus berakhir di sana dan siapa yang
melakukan semua ini? Tentu saja untuk menemukan jawabannya kita harus
menunggu sampai akhir di mana kemuculan aktris senior Patrcia Clarkson
akan menjelaskan segalanya, tetapi tunggu dulu, kamu tidak akan
benar-benar menemukan segalanya di akhir nanti karena sebuah twist akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang masih menjadi misteri untuk film selanjutnya jika The Maze Runner sukses dan dibuatkan lanjutannya (bukunya sendiri merupakan sebuah trilogi).
Dengan premis macam ini, tentu saja potensi The Maze Runner menjadi film YA
yang kuat terbuka lebar. Selain misteri labirin yang membuat rasa
pensaran terganggu menarik melihat konflik yang terjadi di antara sesama
penduduk Glade ketika kehidupan nyaman mereka mulai terganggu dengan
kedatangan orang baru yang berbeda. Sayang lagi-lagi penyakit lain dari
sub-genre ini kembali muncul ketika sutradanya tidak mampu menggali
lebih dalam masalah kompleks di novelnya. Penulis naskah yang terdiri
dari trio Noah Oppenheim, Grant Pierce Myers danT.S. Nowlin memilih
untuk menyederhanakan konflik internalnya, tidak ada ikatan kuat
terbentuk dari interaksi karakternya membuat momen di luar labirin bisa
dibilang membosankan. Sementara apa yang terjadi di dalam bangunan
misterius bisa dibilang seedikit lebih baik meskipun juga sebenarnya
masih jauh berada di bawah harapan. Ekpektasi akan misteri dan kejutan
yang kuat dari labirin maut itu ternyata tidak dieksplorasi dengan
maksimal, membuat perjalanan mencari jalan keluar terasa kurang greget
meskipun di beberapa sekuennya Ball masih berhasil membuat sedikit
ketegangan. Mungkin bagian terbaik selain premisnya adalah bagaimana
desain maze itu dibuat. Ball merancang sendiri konsep labirin raksasa
itu sedetil mungkin yang mampu menghadirkan kesan angker disaat pertama
kali penontonnya melihat tembok raksasa dengan koridor-koridor panjang
nan gelap yang menyesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar