THE MAZE RUNNER (2014) REVIEW

The Maze Runner (2014)
Seperti kebanyakan adaptasi novel sci-fi YA, The Maze Runner menawarkan sebuah ide yang bagus namun juga seperti kebanyakan gubahan ke versi live-action-nya, ia juga tidak pernah bisa lepas dari dosa-dosa dasar film adaptasi novel yang bisa dibilang tidak pernah bisa maksimal memanfaatkan potensi besarnya menjadi sebuah tontonan yang kuat. The Maze Runner jelas seru untuk sekedar film hiburan, tetapi ia hanya sebatas itu karena setelahnya ia dengan mudah dilupakan
Summary 6.8
 
Sesosok manusia terbangun di tengah bangunan misterius yang begerak sendiri tanpa pernah tahu mengapa ia bisa sampai di sana. Apa yang ditawarkan adaptasi novel young adult laris berjudul sama ini tentu saja menarik meskipun tidak lagi menawarkan sesuat yang benar-benar baru. Sekilas, premisnya mengingatkan fans fiksi ilmiah kepada salah satu cult Indie, The Cube. Tetapi bukan hanya The Cube, The Maze Runner seperti juga banyak terinspirasi oleh sesama koleganya, sesama sci-fi YA dari yang paling klasik macam Lord of Flies di mana sekelompok remaja terjebak di sebuah pulau tak berpenghuni sampai yang paling modern macam The Hunger Games dengan permainan maut yang dilakukan para remaja terpilih untuk bertahan hidup. Tetapi apapun itu yang mungkin mempengaruhi penulis novelnya, James Dashner, The Maze Runner tetap punya pesonanya sendiri yang mampu menjadi bacaan hit ketika dirilis 2007 lalu. Jadi adaptasi live-action-nya jelas tinggal menunggu waktu saja, apalagi momentum adaptasi novel sci-fi YA  saat ini membooming, genre hanya bisa ditandingi oleh film-film superhero.
Masih bersetting di dunia distopia masa depan, masih menghadirkan para remaja yang bertahan hidup dari sebuah rencana jahat besar dan masih memunculkan satu karakter terpilih untuk menyelamatkan semuanya. The Maze Runner sebenarnya tidak pernah jauh-jauh dari pakem sci-fi young adult populer modern. Yang membedakannya adalah sebuah maze atau labirin besar yang dibangun dari tembok-tembok beton raksasa sementara di tengah-tengahnya ada Glade yang terdiri sekelompok remaja terbuang yang tidak pernah tahu kenapa mereka harus berada di sana. Satu-satunya yang mereka tahu adalah tidak pernah mencoba masuk ke dalam labirin misterius itu. Jadi selama bertahun-tahun mereka hidup dalam ketakutan akan bayang-bayang tembok rakasasa yang konon berubah setiap malam dan di dalamnya dihuni oleh mahluk-mahluk mengerikan seperti laba-laba besar yang mereka sebut Grevier sampai kemudian seorang remaja bernama Thomas (Dylan O’Brien) datang, mencoba memecahkan misteri labirin misterius itu sekaligus mengajak teman-teman barunya untuk keluar dari sana.
Penyakit kebanyakan sub-genre ini sebenarnya masih sama saja, adaptasi novel tidak pernah bisa benar-benar memuaskan, khususnya buat para purist karena alasan keterbatasan durasi yang tidak mampu memboyong semua detil pentingnya. Bahkan franchise besar macam The Hunger Games yang tahun ini memasuki salah satu seri terakhirnya pun tidak lepas dari kelemahan ini, beruntung ia masih diselamatkan oleh performa Jennifer Lawrence yang luar biasa. Sementara The Maze Runner tidak punya nama-nama besar yang bisa menjual, ya, memang ada Will Poulter yang sebelumnya pernah kita lihat di sekuel ke-2 Narnia dan komedi gila We Are The Millers, tetapi meskipun Poulter masih bermain bagus ia bukan karakter sentralnya.  Ada bintang Teen Wolf, Dylan O’Brien yang didapuk sebagai Thomas, the chosen one yang menjadi pusat narasi selain labirin besar, ia memimpin banyak bintang-bintang muda seperti salah satunya Thomas Brodie-Sangster dari serial televisi Game of Thrones dan Kaya Scodelario dari serial Skins.
Tentu saja tidak adil membandingkan pesona Dylan O’Brien dan Jennifer Lawrence yang lebih banyak makan asam garam. Jadi untuk menutupi kekurangan di karakternya yang tidak mampu dihadirkan dengan maksimal sutradara Wes Ball mencoba memaksimalkan daya tarik premisnya melalui kandungan misteri dari labirin tua raksasa yang menjadi momok buat setiap warga Glade. Bagi penonton yang tidak membaca novelnya tentu saja konsep yang ditawarkan The Maze Runner bisa dibilang menantang. Diposisikan sama tidak tahunya dengan karakter Thomas, penontonnya diajak untuk menelusuri apa yang sebenarnya terjadi, kenapa remaja-remaja tanggung itu harus berakhir di sana dan siapa yang melakukan semua ini? Tentu saja untuk menemukan jawabannya kita harus menunggu sampai akhir di mana kemuculan aktris senior Patrcia Clarkson akan menjelaskan segalanya, tetapi tunggu dulu, kamu tidak akan benar-benar menemukan segalanya di akhir nanti karena sebuah twist akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang masih menjadi misteri untuk film selanjutnya jika The Maze Runner sukses dan dibuatkan lanjutannya (bukunya sendiri merupakan sebuah trilogi).
Dengan premis macam ini, tentu saja potensi The Maze Runner menjadi film YA yang kuat terbuka lebar. Selain misteri labirin yang membuat rasa pensaran terganggu menarik melihat konflik yang terjadi di antara sesama penduduk Glade ketika kehidupan nyaman mereka mulai terganggu dengan kedatangan orang baru yang berbeda. Sayang lagi-lagi penyakit lain dari sub-genre ini kembali muncul ketika sutradanya tidak mampu menggali lebih dalam masalah kompleks di novelnya. Penulis naskah yang terdiri dari trio Noah Oppenheim, Grant Pierce Myers danT.S. Nowlin memilih untuk menyederhanakan konflik internalnya, tidak ada ikatan kuat terbentuk dari interaksi karakternya membuat momen di luar labirin bisa dibilang membosankan. Sementara apa yang terjadi di dalam bangunan misterius bisa dibilang seedikit lebih baik meskipun juga sebenarnya masih jauh berada di bawah harapan. Ekpektasi akan misteri dan kejutan yang kuat dari labirin maut itu ternyata tidak dieksplorasi dengan maksimal, membuat perjalanan mencari jalan keluar terasa kurang greget meskipun di beberapa sekuennya Ball masih berhasil membuat sedikit ketegangan. Mungkin bagian terbaik selain premisnya adalah bagaimana desain maze itu dibuat. Ball merancang sendiri konsep labirin raksasa itu sedetil mungkin yang mampu menghadirkan kesan angker disaat pertama kali penontonnya melihat tembok raksasa dengan koridor-koridor panjang nan gelap yang menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

notifikasi
close